Sabtu, 18 Oktober 2014

Tanpa Bukti Narkoba, Ini Kejanggalan Vonis 10 Tahun Penjara ke Edih Kusnadi

Jakarta.MEDIA INDEPENDEN NASIONAL ONLINE


Edih Kusnadi harus merasakan dinginnya sel penjara selama 10 tahun ke depan atas tuduhan percobaan menguasai narkoba jenis sabu. Hingga proses hukum usai, banyak kejanggalan di kasus tersebut.
Tragedi hukum yang dialami Edih bermula saat dia ditelepon teman lamanya, Iswandi, pada 13 Mei 2011. Dalam percakapan itu, Iswandi mau mengajak bertemu di bilangan Jl Gadjah Mada, Jakarta Pusat. Tanpa curiga, Edih yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga marketing asuransi ini mengiyakan. Sesampainya di lokasi yang disepakati, Edih langsung dibekuk aparat kepolisian dan digelandang ke Polda Metro Jaya.
Di sinilah susunan cerita versi polisi dibangun. Edih diminta mengaku hendak bertransaksi sabu dengan Iswandi yang memesan sabu ke Riki. Edih sendiri bertemu dengan Iswandi setelah di sel Polda Metro Jaya. Di sel Polda ini juga Edih bertemu dengan Kurniawan yang kicauannya senada dengan kicauan Iswandi.
Lantas apa saja kejanggalan-kejanggalan tersebut?
1. Vonis Berdasarkan 1 Saksi
Penyidik menguraikan keterlibaan Edih berdasarkan keterangan Iswadi dan Kurniawan. Dari 6 saksi yang dihadirkan penyidik ke persidangan, hanya kesaksian Iswadi sendiri yang menyatakan bahwa narkotika yang ada padanya akan diberikan kepada Edih.
“Sementara itu keterangan saksi lainnya sebenarnya tidak bersifat menguatkan dakwaan karena 4 orang saksi lainnya merupakan saksi verbal lisan dan satu orang lainnya merupakan saksi auditu,” kata Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, kepada detikcom , Jumat (10/10/2014).
Saksi-saksi yang memberatkan di atas yaitu:
- Dua orang polisi yang menangkap yaitu Bambang Hariono dan Kembar Wahyu Susilo
- Dua orang penyidik yang memeriksa Edih yaitu Andreas Tulam dan Yohanes Yuli
- Dua orang saksi mahkota yaitu Iswadi dan Kurniawan. Keduanya menjadi terdakwa dalam berkas terpisah
“Alat bukti yang dapat membuktikan atau setidaknya menunjukkan Edih bermaksud menerima paket narkotika dari tangan Iswadi hanyalah dari keterangan Iswadi itu sendiri,” tegas Arsil.
Berdasarkan KUHAP, vonis setidaknya harus mendasarkan kepada 2 alat bukti yang sah. Alat bukti yang dimaksud yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
2. Barang Bukti
Dalam persidangan, penyidik menyodorkan barang bukti berupa:
- Dua buah paket sabu yang diperoleh dari Iswadi yaitu 25 gram dan 29 gram sabu
- Satu buah buku tabungan dan ATM milik Iswadi
- Satu buah timbangan elektrik milik Iswadi
- Dua buah handphone milik Iswadi
- Satu buah handphone milik Kurniawan
- Satu buah handphone milik Edih.
Namun sayangnya, jaksa tidak bisa membuktikan ada transaksi narkoba antara HP Kurniawan dengan HP Edih. Namun majelis hakim tetap mengamini dan meyakini antara mereka telah terjadi komunikasi untuk melakukan transaksi narkoba.
“Hal ini terlihat dari tidak disebutnya kedua barang bukti tersebut (yang juga tidak terlalu jelas apakah kedua barang bukti tersebut sebelumnya dilakukan pemeriksaan secara forensik atau tidak) dalam pertimbangan majelis,” beber Arsil.
Sementara itu barang bukti lainnya yaitu kartu ATM tidak menunjukkan indikasi yang sama yang mampu menguatkan keterangan Iswadi, apakah ada transaksi transfer uang di antara mereka dalam kasus ini.
3. Alat Bukti Surat
Sesampainya di Polda Metro Jaya, Edih lalu dipaksa melakukan tes urine dengan hasil positif memakai sabu. Namun, anehnya Edih malah didakwa hendak menguasai narkoba atau mengedarkan narkoba. Bukan didakwa akan memakai narkoba.
“Apakah benar hasil test urine dapat membuktikan bahwa narkotika yang masih dikuasai oleh Iswandi benar akan ditujukan pada Terdakwa? Bukankah test urine hanya akan menunjukkan bahwa dalam dalam tubuh terdapat kandungan narkotika?” tanya Arsil.
Sebab dalam dakwaan jaksa, Edih didakwa melakukan percobaan atau permufakatan jahat menerima narkotika bukan tanaman golongan I. Selain itu, JPU juga mendakwa Edih melakukan percobaan atau permufakatan jahat memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika golongan I bukan tanaman.
“Lalu, pertanyaannya, bagaimana adanya kandungan narkotika dalam tubuh terdakwa tersebut berhubungan dengan narkotika yang bahkan belum diterimanya?” tanya Arsil
4. Jumping Conclussion
Dari kejanggalan runutan di atas, majelis hakim tetap menghukum Edih selama 10 tahun penjara. Vonis ini dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) yang dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung (MA). Duduk sebagai ketua majelis kasasi Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja dengan anggota Sri Murwahyuni dan Suhadi.
“Satu hal penting yang sangat patut disayangkan, pengadilan seakan lebih banyak menilai benar tidaknya dakwaan tidak semata pada alat-alat bukti yang tersedia, namun lebih banyak pada asumsi-asumsi semata,” ujar Arsil.
Asumsi tersebut yaitu apabila Edih positif menggunakan narkotika, maka logis jika narkotika yang ada pada Iswadi memang dimaksudkan untuk Terdakwa.
“Di sini majelis hakim seakan melakukan loncatan kesimpulan (jumping conclussion),” tegasnya.
5. Disparitas Putusan
Berdasarkan runutan kejanggalan di atas, vonis 10 tahun penjara bagi Edih juga cukup disayangkan. Bandingkan dengan vonis yang dijatuhkan kepada Drs Istomo Achmad SH.
Istomo tiba di bandara Soekarno-Hatta sepulangnya dari India pada 20 November 2013, di tas yang dibawa Istomo ditemukan sabu seberat 3 kg. Anehnya, PN Tangerang memvonis Istomo selama 12 tahun penjara. Bahkan Pengadilan Tinggi (PT) menyunat hukumannya menjadi 7 tahun penjara.
Bandingkan pula dengan hukuman yang dijatuhkan kepada anggota Polsek Kemuning, Riau, Briptu Oloan Aruan yaitu 7 tahun penjara. Padahal Briptu Oloan menilep barang bukti sabu seberat 7 kg.
Makin miris, vonis Edih juga lebih tinggi daripada hukuman yang dijatuhkan kepada
Wakil Kepala Pengamanan LP Narkotika Cipinang Gunawan Wibisono yaitu 8 tahun penjara. Padahal Gunawan menjadi  beking pabrik narkoba Freddy yang dibuat di Kamar 16 LP Narkotika Cipinang

Asanudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar