Jumat, 06 Desember 2013

Ketua Dewan Pembina NCW, Mayjen (Purn) H. Sjamsu Djalal, SH, MH: NKRI Harga Mati, Presiden 2014 Yang Ideal Belum Terlihat

Jakarta.MEDIA INDEPENDEN NASIONAL ONLINE


TNI harus terus mencegah terjadinya benturan dan kekerasan komunal yang akan mengganggu ketenteraman hidup masyarakat dan kesatuan bangsa.



Pemilu 2014 dan suksesi kepemimpinan nasional adalah momen penting bangsa Indonesia, karena di sana terletak masa depan keberlanjutan pembangunan nasional. Capres 2014 harus jelas ideologinya atau Pancadan bersih dari korupsi. Terlebih saat itu, Indonesia menghadapi situasi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global, serta kondisi ekonomi nasional.
“Presiden 2014 yang ideal memang belum kelihatan sampai sat ini. Yang pasti, Capres 2014 harus jelas ideologinya dan bersih dari korupsi. Sebab, kalau tidak, maka pemimpin itu tak akan memiliki wibawa dalam memimpin bangsa,” ujar Ketua Dewan Pembina Nasional Corruption Watch (NCW),Mayjen (Purn) H.Sjamsu Djalal, SH, MH, kepada Koran Transaksi, Minggu (1/12), menanggapi rencana NCW akan menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) bertema ‘NKRI Harga Mati’ Nasionalis, Sebagai Perekat Pemersatu Bangsa pada 14-15 Desember 2013.
Pentingnya ideologi tersebut, tegas  Sjamsu Djalal, karena menyadari bangsa ini sangat besar, beragam, majemuk, Bhinneka Tunggal Ika, dan sebagainya, sehingga tidak terjebak lagi dalam persoalan dan perdebatan masalah suku, agama, ras, dan antar golongan. “Capres atau pemimpin 2014 itu harus clear secara ideologi dan bersih  dari korupsi,” imbuhnya.
Menurut mantan Komandan Puspom ABRI itu, bersih dari korupsi itu sangat penting. Sebab, korupsi itulah menjadikan frustrasi, dan pejabat negara maupun daerah dalam menjalankan program pembangunan tidak beres sebagai akibat banyak dikorupsi.
Perlu diketahui, APBN pascareformasi ini mencapai Rp 1.800 triliun, padahal sebelumnya di akhir pemerintahan Orde Baru 1998 hanya Rp 190 triliun, dan 2004 Rp 395 triliun. Jumlah APBN terus membengkak, tapi pembangunan yang dihasilkan tidak signifikan karena banyak dikorupsi.
“Masyarakat sangat mendambakan presiden yang bisa dipercaya atau jujur. Bahkan, saat ini pemilih yang mendambakan pemimpin nasional yang bisa dipercaya atau jujur, dan cenderung tidak memilih elite politik lama yang dibicarakan akan maju sebagai capres 2014. Jadi, belum kelihatan calon pemimpin ideal itu,” terang Sjamsu Djalal.
Mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen berpendapat, korupsi saat ini menjadi tren yang paling dominan menghiasi tingkah laku para pejabat negara, dari orang yang tidak tahu hukum sampai aparat penegak hukum. “Sementara banyak warga negara yang hidup di bawah garis kemiskinan, namun ada orang hidup bergelimang harta, kabarnya pengeluaran mereka bisa Rp 100 juta lebih per bulan,” ujarnya.
Untuk mengatasi kasus korupsi yang sudah sedemikian parah dan hampir menghancurkan sendi-sendi bangsa dan negara, maka momen 2014 merupakan momen menentukan bagi negara ini. Tentu, sudah tidak bisa berharap pada pemerintahan sekarang yang tinggal beberapa bulan. Aksi pemerintah saat ini sepertinya tidak mampu mencegah korupsi, faktanya kasus korupsi kian hari kian tak terkendali.
“Kita memerlukan pemimpin yang bersih, yang berintegritas, yang tidak terlibat dalam belitan masalah korupsi dan politik. Orang yang tidak punya beban untuk mendorong perubahan ke arah yang benar,” ujar Syamsu Jalal.
Disinggung mengenai netralitas prajurit dalam Pemilu 2014, Syamsu Jalal memastikan bahwa TNI secara keseluruhan senantiasa konsisten pada komitmen netralitas dan senantiasa siap menjaga dan mengamankan Pemilu 2014 bersama instrumen lain negara dan masyarakat, guna menjaga Pemilu 2014 dapat berlangsung dengan lancar, tertib dan damai.
Menurut Komandan Puspom ABRI itu, Pemilu 2014 dan suksesi kepemimpinan nasional juga merupakan momen penting bagi  penguatan kapasitas dan kapabilitas TNI. TNI perlu diarahkan pada penetapan skala prioritas bagi pengamanan wilayah perbatasan negara dan pulau-pulau terdepan serta pengamanan aset-aset ekonomi nasional, yang dilaksanakan secara terpadu.
Dalam kemajemukan di Indonesia, kata Syamsu Jalal menjelaskan, TNI harus terus mencegah terjadinya benturan dan kekerasan komunal yang akan mengganggu ketenteraman hidup masyarakat dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, segala instrumen hukum mesti digunakan dalam rangka membangun sinergitas penanganan konflik sosial, baik dengan polri maupun dengan komponen masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama, melalui optimalisasi peran TNI.
“Jangan sampai prajurit TNI terprovokasi. Kita adalah satu. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati. Kita akan pertahankan. Apapun yang terjadi NKRI harga mati,” tegasnya.
Pemimpin Pancasilais
NKRI harga mati, tidak bisa ditawar-tawar. Karena itu, Syamsu Jalal menegaskan Capres 2014 harus menjadikan Pancasila pedoman dalam upaya mencapai tujuan kesejahteraan bersama.
“Di tengah menggeloranya penerapan Pancasila, masyarakat menemukan kontroversi di dalamnya, sehingga orang mulai tidak melihat Pancasila sebagai sesuatu yang sakral. Padahal, negara lain bisa maju karena ideologi yang benar-benar diamalkan,” ujarnya.
Kenapa Indonesia dengan ideologi yang begitu hebat tak mampu menjadi negara besar? Syamsu Jalal berasumsi bahwa pemimpin Indonesia yang saat ini berkuasalah yang bermasalah.
“Semestinya pemimpin-pemimpin Indonesia menancapkan rasa Pancasila dalam setiap tindak tanduknya. Sayangnya, yang terjadi saat ini adalah pembiaran dari para pemimpin negara atas kepungan ideologi liberalisme dan kapitalisme terhadap Pancasila,” katanya.
Pancasila saat ini hanya tinggal bungkus dari ideologi Indonesia saja, yang berfungsi sebagai asas tunggal partai politik. “Fakta yang terjadi di negara ini, Pancasila hanya menjadi asas dari partai politik saja, sementara pengamalannya tidak terjadi dalam kehidupan sehari-hari, terutama para pemimpin,” ucapnya.
Kemudian, kualitas politik di negeri ini sama sekali tidak mencerminkan Pancasila, terlebih dalam pelaksanaan roda ekonomi yang sudah dikuasai oleh pasar. “Ketika ekonomi kita sudah dikuasai oleh pasar, jelas sudah bertentangan dengan ekonomi Pancasila yang merupakan kombinasi dari ekonomi sosialis, kerakyatan dengan demokrasi. Namun, faktanya yang berjalan saat ini adalah liberalisasi, dan seluruh kekayaan alam kita hampir pasti dikuasai oleh kekuatan kapitalis dari dalam dan luar negeri,” imbuhnya.
Syamsu Jalal pun menyatakan keprihatinannya dengan lunturnya pengamalan Pancasila. “Sangat menyedihkan ketika pengamalan dan penghayatan Pancasila semakin dilupakan oleh generasi penerus bangsa. Pemimpin negara harus mampu menggelorakan kembali semangat Pancasila di tengah-tengah masyarakat,” pungkasnya.
(Abdul Kadir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar