BPN sebagai mediator dan mencari jalan tengah yang mengakomodasi keadilan para pihak yang bersengketa, berhasil dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan (BPN) Kabupaten Garut. Pola mediasi ini lebih murah dan mudah, serta lebih mengedepankan saling pengertian kedua belah pihak bersengketa.
Penilaian tersebut disampaikan oleh salah seorang pendiri Nasional Corupption Watch (NCW), C Herry SL kepada Koran Transaksi, di Jakarta, Minggu (15/12). “Kantor Kantor Pertanahan Kabupaten Garut kini memfokuskan perhatian pada pola pendekatan mediasi dalam menangani berbagai kasus konflik tanah yang terjadi di masyarakat. Pola tersebut lebih efektif dan efisien daripada mengedepankan pendekatan hukum ke pengadilan dalam menyelesaikan kasus-kasus konflik tanah,” ungkapnya.
C Herry SL yang kerap disapa Cak Hery itu menjelaskan, dalam semangat win-win solution ini, penyelesaian sengketa tidak semata-mata didasarkan pada siapa yang memiliki sertifikat. Dalam banyak kasus, misalnya, seringkali penyelesaian sengketa mengabaikan eksistensi masyarakat lokal yang bertahun-tahun, dari generasi ke generasi, telah menempati satu wilayah dan mengolah tanah di wilayah tersebut. Masyarakat kalah oleh investor yang baru datang dan memiliki sertifikat atas tanah di wilayah itu.
“Dalam konsep win-win solution, seandainya investor memiliki sertifikat hak milik, mereka tidak bisa langsung menang atas rakyat karena rakyat dilindungi oleh Pasal 33 UUD 1945, meskipun rakyat tersebut tidak memiliki sertifikat,” ujar Cak Hery, yang juga Ketua DPW NCW DKI Jakarta itu.
Pasal 33 UUD 1945 menyiratkan, rakyat memiliki hak atas tanah dan kekayaan alam di dalamnya. “Konsep win-win solution adalah cara yang membuat derajat rakyat semakin tinggi karena rakyat dalam cara itu tidak dapat serta merta dikalahkan. Dengan konsep ini (win-win solution), rakyat harus mendayagunakan kemampuannya. BPN dalam hal ini hanya menjadi mediator yang dituntut untuk independen, tidak berpihak pada kedua belah pihak (rakyat dan investor),” paparnya.
Dalam prakteknya, pola mediasi memang lebih efektif. Seperti dikatakan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Garut, Herryzal Sjafri pola mediasi bahkan murah dan mudah, serta lebih mengedepankan saling pengertian kedua belah pihak bersengketa. Kalau di pengadilan lama, bisa bertahun-tahun,” kata Herryzal Sjafri.
Dengan pola pendekatan mediasi tersebut, lanjut Herryzal, konflik tanah di PTPN VIII Dayeuhmanggung antara pihak masyarakat petani penggarap dengan pihak perkebunan yang sudah berlangsung bertahun-tahun, kini mendapatkan titik terang dalam penyelesaiannya. “Alhamdulillah dengan cara ini kita bisa selesaikan konflik tanah di Dayeuhmanggung yang terakhir dimediasi pula Komnas HAM,” kata Herryzal.
Saat ini, tutur Herryzal, konflik tanah di kawasan PTPN VIII Dayeuhmanggung sudah sampai tahapan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU/nota kesepahaman). Dengan catatan, di dalamnya tertera kesepakatan bahwa tanah diokuvasi penggarap itu tidak untuk diperjualbelikan, dan harus ada pengawasan pelaksanaannya dari pemerintah daerah setempat selaku pemangku wilayah.
Tanah diperbolehkan digarap masyarakat yakni lahan tanah yang terlanjur sudah terokuvasi masyarakat, seluas sekitar 202 hektare, dari total lahan yang sedang diajukan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU)-nya seluas 402 hektar. Pengecekan lokasi dan identifikasi masyarakat penggarap juga sudah dilakukan. Selain itu, komoditi yang ditanam pun harus dipastikan sesuai dengan tata ruang dan ekosistem yang ada.
“Penanganan konflik tanah seperti ini akan diangkat ke Komisi A dan B DPR RI serta BUMN, serta Depdagri. Ini kan solusi baru. Sehingga akan menjadi model atau contoh bagi seluruh daerah di Indonesia,” tandas Herryzal.
Terpisah, Administratur PTPN VIII Kebun Teh Dayeuhmanggung, Umar Hadikusumah membenarkan bila saat ini kasus konflik tanah di kawasan kebun teh Dayeuhmanggung memasuki tahap penyusunan draft MoU dan Perjanjian Kemitraan Pemanfaatan Lahan, dengan mediator Komnas HAM. Dia berharap, pada akhir September ini, bisa dilakukan finalisasi penandatanganan MoU antara pihak perkebunan dengan masyarakat penggarap.
“Alhamdulillah. Situasi di lapangan kondusif. Masyarakat dapat menerima konsep kita bahwa lahan bukan untuk dikuasai atau dimiliki penggarap, melainkan bisa kerjasama pemanfaatan lahan untuk kesejahteraan masyarakat, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan,” tegas Umar.
Keberhasilan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Garut, Herryzal Sjafri, layak diapresiasi, mengingat BPN RI pun berharap agar masyarakat tidak salah kaprah dengan kewenangan BPN RI. “Jika berbicara penegakan hukum terkait sengketa tanah, maka institusi yang bisa menyelesaikannya adalah Polri, Kejaksaan dan Pengadilan,” ujar Kepala Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI, Kurnia Toha.
Kurnia menambahkan, kewenangan BPN RI hanya memediasi para pihak yang terlibat dalam sengketa tanah. BPN RI dalam melakukan mediasi menerapkan prinsip win-win solution, yang tidak hanya didasarkan kepada bukti formal tapi keadilan. “Kalau tidak bisa didamaikan bagaimana? Maka BPN RI tidak bisa berbuat apa-apa,” katanya.
Abdul kadir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar