Selasa, 11 Februari 2014

USMAN dan HARUN Pahlawan Dwikora

Jakarta.MEDIA INDEPENDEN NASIONAL ONLINE


Mungkin tidak semua masyarakat Indonesia mengenal Usman dan Harun. Pahlawan Dwikora dari Korps Komando Operasi (KKO) yang sekarang bernama Korps Marinir TNI-AL, seolah-olah tenggelam di antara nama-nama pahlawan lainnya. Bahkan dalam pelajaran-pelajaran sejarah di bangku sekolah pun, nama keduanya jarang bahkan hampir tidak tersebutkan sama sekali, padahal jika kita melihat apa yang telah mereka lakukan adalah sebuah kisah heroik yang tabah sampai akhir.

USMAN alias JANATIN
Nama asli Usman adalah Janatin. Lahir di desa Tawangsari Kelurahan Jatisaba Kabupaten Purbalingga, tanggal 18 Maret 1943 dari keluarga Haji Muhammad Ali dengan Ibu Rukiah.
Tahun 1962 Janatin mengikuti pendidikan militer di Malang, Jawa Timur yang dilaksanakan oleh Korps Komando Angkatan Laut. Pendidikan ini dilaksanakan guna pengisian personil yang dibutuhkan dalam menghadapi Trikora.
Pendidikan dasar militer dilaksanakan di Gunung Sahari. Pendidikan Amphibi dilaksanakan di pusat latihan Pasukan Pendarat di Semampir, Surabaya. Pada akhir seluruh pendidikan diadakan latihan puncak di daerah Purboyo Malang Selatan dalam bentuk Suroyudo. Semua pendidikan ini telah diikuti oleh Janatin sampai selesai, sehingga ia berhak memakai baret ungu.
Bulan April 1964 di Cisarua Bogor selama satu bulan, Janatin mengikuti pendidikan tambahan untuk:
Inteljen, kontra inteljen, sabotase, demolisi, gerilya, perang hutan dan lain-lain. Dengan bekal dari latihan di Cisarua ini, diharapkan dapat bergerak di daerah lawan untuk mengemban tugas nantinya.

HARUN alias TOHIR
Sama halnya dengan Usman, Harun bukanlah nama aslinya. Harun terlahir dengan nama Tohir tanggal 4 April 1943 di Pulau Keramat Bawean (sebuah pulau kecil di sebelah utara Surabaya). Tohir adalah anak ketiga dari Pak Mandar dengan ibu Aswiyani.
Masuk Angkatan Laut bulan Juni 1964, dan ditugaskan dalam Tim Brahma I di Basis II Ops A KOTI. Bergabung dalam Dwikora dengan pangkat Prajurit KKO II (Prako II), Tohir mendapat gemblengan selama lima bulan, di daerah Riau daratan dan pada tanggal 1 April 1965 dinaikkan pangkatnya menjadi Kopral KKO I (Kopko I).
Selesai mendapatkan gemblengan di Riau daratan sebagai Sukarelawan Tempur bersama rekan-rekan lainnya, ia dikirim ke Pulau Sambu hingga beberapa lama dalam kesatuan A KOTI Basis X. Tohir sendiri telah ke Singapura beberapa kali, dan sering mendarat ke Singapura menyamar sebagai pelayan dapur, menggunakan kapal dagang yang sering mampir ke Pulau Sambu untuk mengisi bahan bakar.
Wajah Tohir yang mirip-mirip Cina sangat menguntungkan dalam penyamarannya didukung dengan Bahasa Inggris, Cina dan Belanda yang dikuasai dengan lancar sangat membantu dalam kebebasannya untuk bergerak dan bergaul di tengah-tengah masyarakat Singapura yang mayoritas orang Cina.

DWIKORA
Konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1963 timbul sebagai akibat dari pernyataan sikap Indonesia yang menentang penyatuan Malaysia memuncak. Presiden Soekarno mengeluarkan DWIKORA pada tanggal 3 Mei 1964. Kemarahan Soekarno ini disulut oleh tindakan provokatif dari Federasi Tanah Melayu yang menginginkan (atas ide dan persetujuan Inggris) menggabungkan Federasi Tanah Melayu, Singapura, Brunei, Serawak dan Sabah (Borneo Utara).
Komando tersebut mendapat sambutan dari lapisan masyarakat, termasuk ABRI. Hal ini terbukti bahwa rakyat Indonesia berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai sukarelawan Dwikora hingga mencapai jumlah 21 juta sukarelawan.
Gelar pasukan sebagai upaya propaganda mulai dilakukan, mengingat persenjataan Indonesia pada waktu itu memang kuat dan termodern.

OPERASI DWIKORA
Baru saja TNI AL selesai melaksanakan tugas-tugas operasi dalam mengembalikan Irian Barat ke wilayah kekuasaan RI, timbul lagi masalah baru yang harus dihadapi oleh seluruh bangsa Indonesia, dengan dikomandokannya Dwikora oleh Presiden Sukarno.
KKO AL mengirimkan 300 orang anggota yang terdiri dari Kopral sampai Perwira. Dalam operasi ini Usman melakukan tugas ke wilayah Basis II A Koti, ia berangkat menuju Pulau Sambu sebagai Sub Basis dengan menggunakan kapal jenis MTB.
Kemudian menggabungkan diri dengan Tim Brahma I di bawah pimpinan Kapten Paulus Subekti yang pada waktu itu menyamar dengan pangkat Letkol KKO-AL dan merangkap menjadi Komandan Basis X yang berpangkalan di Pulau Sambu Riau.
Ketika Janatin (Usman) menggabungkan diri dengan kawan-kawannya, ia berkenalan dengan Tohir (Harun) dan Gani bin Arup. Mereka ini merupakan sahabat yang akrab dalam pergaulan. Mereka mendapat tugas
yang sama untuk mengadakan sabotase di Singapura.

BERGANTI NAMA
Karena ketatnya penjagaan daerah lawan dan sukar ditembus, maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh ialah menyamar sebagai pedagang yang akan memasukkan barang dagangannya ke wilayah Malaysia dan Singapura.
Janatin mengganti namanya dengan Usman dan disambungkan dengan nama orang tuanya Haji Muhammad Ali, sehingga nama samaran ini lengkapnya Usman bin Haji Muhammad Ali. Sedangkan Tohir menggunakan nama samaran Harun, dan lengkapnya Harun bin Said.
Dengan nama samaran ini Usman, Harun dan Gani melakukan penyusupan ke daerah Singapura untuk melakukan penyelidikan dan pengintaian tempat-tempat yang dianggap penting.

PENYUSUPAN
Tanggal 8 Maret 1965 tengah malam buta, saat air laut tenang, ketiga Sukarelawan di bawah pimpinan 
Usman ini memasuki Singapura. Mereka mengamati tempat-tempat penting yang akan dijadikan obyek sasaran. Mereka akhirnya memutuskan untuk melakukan peledakan Hotel Mac Donald, yang terletak di Orchad Road yang merupakan pusat keramaian di kota Singapura.
Setelah situasi memungkinkan, mulailah mereka menyusup untuk memasang bahan peledak seberat 12,5 kg.
Kira-kira pukul 03.07 dini hari 10 Maret 1965, terjadilah ledakan dahsyat yang berasal dari bagian bawah Hotel Mac Donald.
Beberapa penghuni hotel dan toko ada yang tertimbun oleh reruntuhan, 3 orang meninggal, 35 orang mengalami luka-luka berat dan ringan.
Saat terjadi ledakan, orang-orang berhamburan ke luar hotel, dan di antara orang-orang yang berdesakan ingin keluar dari hotel tersebut adalah Usman.
Situasi menjadi demikian sulitnya karena penjagaan sangat ketat, tidak ada celah untuk bisa ditembus bagi Usman, Harun dan Gani keluar dari wilayah Singapura.
Akhirnya mereka sepakat untuk menerobos penjagaan dengan menempuh jalan masing masing. Usman bersama Harun, sedangkan Gani bergerak sendiri.
Sebelum berpisah Usman menyampaikan pesan kepada anggotanya, barang siapa yang lebih dahulu sampai ke induk pasukan, supaya melaporkan hasil tugas telah dilakukan kepada atasan.

GAGAL KEMBALI KE PANGKALAN
Usman yang bertindak sebagai pimpinan belum faham betul dengan daerah Singapura, walaupun ia sering memasuki daerah ini. Karena itu Usman meminta kepada Harun supaya mereka bersama-sama mencari jalan ke luar ke pangkalan. Untuk menghindari kecurigaan, mereka berjalan saling berjauhan, seolah-olah kelihatan yang satu dengan yang lain tidak ada hubungan sama sekali.
Dengan merebut motorboat dari seorang Cina, dengan cekatan mereka mengambil alih kemudi, kemudian haluan diarahkan menuju ke Pulau Sambu. Namun, sebelum mereka sampai ke perbatasan perairan Singapura, motorboat yang mereka gunakan macet di tengah laut. Mereka tidak dapat lagi menghindarkan diri dari patroli musuh. Pukul 09.00 pagi di hari itu, Usman dan Harun tertangkap dan dibawa ke Singapura 
sebagai tawanan.

DIADILI
Usman dan Harun selama kurang lebih 8 bulan telah meringkuk di dalam penjara Singapura sebagai tawanan.
Pada tanggal 4 Oktober 1965 Usman dan Harun dihadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi (High Court) Singapura.
Pada tanggal 20 Oktober 1965, Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) yang dipimpin oleh Hakim J. Chua memutuskan bahwa Usman dan Harun telah melakukan sabotase dan mengakibatkan meninggalnya tiga orang sipil. Dengan dalih ini, kedua tertuduh dijatuhi hukuman mati.

HUKUMAN GANTUNG
Pukul 05.00 subuh, kedua tawanan itu dibangunkan oleh petugas penjara, kemudian disuruh sembahyang menurut agamanya masing-masing. Setelah melakukan sembahyang Usman dan Harun dengan tangan diborgol dibawa oleh petugas ke kamar kesehatan untuk dibius. Dalam keadaan terbius dan tidak sadar masing-masing urat nadinya dipotong oleh dokter tersebut, sehingga mereka berdua lumpuh sama sekali. 

Lalu Usman dan Harun dibawa menuju ke tiang gantungan. Tepat pukul 06.00 pagi hari Kamis tanggal 17 Oktober 1968, eksekusi terhadap Usman dan harun dilakukan.
Pejabat penjara Changi menyampaikan berita kepada para wartawan yang mengikuti peristiwa ini, bahwa 
hukuman telah dilaksanakan.
Berita eksekusi tersebar ke seluruh penjuru dunia

PENGHORMATAN UNTUK USMAN DAN HARUN
Bendera merah putih telah dikibarkan setengah tiang sebagai tanda berkabung. Warga Indonesia yang berada di Singapura berbondong-bondong datang membanjiri Kantor Perwakilan Indonesia dengan membawa karangan bunga sebagai tanda penghormatan terakhir terhadap kedua prajurit itu.
Setelah mendapatkan penghormatan terakhir dari masyarakat Indonesia di KBRI, pukul 14.00 jenazah diberangkatkan ke lapangan terbang di mana telah menunggu pesawat TNI—AU yang akan membawa kedua jenazah tersebut ke Tanah Air.
Saat mendengar kabar bahwa Pemerintah Singapura telah melaksanakan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun, maka Presiden Suharto langsung mengeluarkan pernyataan bahwa Usman dan Harun dari KKO-AL diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Setibanya di Kemayoran, kedua jenazah pahlawan itu diterima oleh Panglima Angkatan Laut Laksamana TNI R. Muljadi dan disemayamkan di Aula Hankam Jalan Merdeka Barat sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Heroe Soelistyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar