Minggu, 16 Februari 2014

Bagaimana Seharusnya Kita Memperlakukan Alam

Jawa Timur.MEDIA INDEPENDEN NASIONAL ONLINE


Sejak awal abad 1900-an diketahui bahwa kawah Gunung Kelud memiliki danau. Kecuali letusan pada 2007, letusan Gunung Kelud diketahui bertipe eksplosif, termasuk letusan pada Kamis (13/2/2014) malam.

Dalam sebuah wawancara mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi, Sumber Daya Alam, dan Mineral (ESDM) Surono mengatakan keberadaan danau di kawah ini sama bahayanya dengan lontaran material padat dari letusan gunung.

Surono yang pada Jumat (14/2/2014) diangkat menjadi Kepala Badan Geologi mengatakan, lontaran air dari danau kawah bila masih ada, bisa mencapai sekitar 37,5 kilometer. Sudah airnya panas bercampur magma, masih dipadukan dengan seratusan juta ton material padat yang terlontar.

Muntahnya air danau kawah serta lontaran material padat, dan abu vulkanik yang mematikan inilah yang diduga menjadi penyebab timbulnya korban tewas yang mencapai ribuan orang pada letusan tahun 1919.
Berdasarkan catatan, korban letusan Gunung Kelud pada 1919 mencapai 5.160 orang. Dan letusan pada tahun itulah yang mengawali dilanjutkannya upaya pembangunan terowongan di kaki gunung berketinggian 1.731 meter tersebut.

Terowongan-terowongan tersebut berfungsi untuk mengurangi volume air di kawah danau sebagai upaya mengurangi dampak dari lahar cair, gabungan magma dan air danau yang mendidih. Saluran inilah yang sekarang dikenal sebagai Sungai Sarinjing di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kediri.


Terowongan pengalir air dari danau kawah
buatan 1926 setelah letusan pada 1919, masih berfungsi sampai sekarang. Namun, setelah letusan 1966, Pemerintah Indonesia membangun terowongan baru yang lokasinya 45 meter di bawah terowongan lama.

Terowongan baru yang rampung dibangun pada 1967 ini diberi nama Terowongan Ampera. Fungsinya untuk menjaga volume air danau kawah tak lebih dari 2,5 juta meter kubik. Volume air di kawah Gunung Kelud susut dan hanya menyisakan genangan pada letusan efusif 2007.

Pada letusan Kamis (13/2/2014) malam, air danau bisa jadi bukan lagi ancaman. Namun, tetap perlu jadi 
perhatian bahwa pada malam itu Gunung Kelud masih memiliki ciri letusan eksplosif. Lontaran material padat vulkanik pada letusan terbesar pada pukul 23.30 WIB mencapai ketinggian 17 kilometer. Ketika letusan pertama melontarkan material hingga setinggi 3 kilometer.

Jangkauan abu vulkanik letusan Gunung Kelud pada malam itu pun menyebar luas mengikuti arah angin. Menyebar luas di Jawa Tengah, bahkan menjangkau Jawa Barat.

Bisa jadi gabungan antara pembangunan saluran-saluran air yang telah menghadirkan 11 sungai berhulu di gunung itu, letusan efusif pada 2007 yang menyurutkan air danau kawah, dan persiapan yang lebih baik menjadi faktor yang meminimalkan jumlah korban.

Namun, barangkali pekerjaan rumah tetap belum selesai, karena berdasarkan catatan sejarah, Gunung Kelud memiliki pola letusan berjeda pendek, antara 9 sampai 25 tahun. Walaupun korban jiwa yang jatuh dalam dua hari ini bukan karena dampak langsung letusan, tetapi fakta tenggat waktu antara peningkatan status Awas sampai terjadinya letusan pada Kamis malam itu sangat pendek, tetap merupakan sebuah catatan baru.

Sekali lagi, letusan Gunung Kelud kali ini mengajarkan pada kita betapa pentingnya menyadari bagaimana seharusnya kita memperlakukan alam.

Heroe Soelistyanto
Sumber : Kompas.com/berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar