Presiden Joko Widodo(Jokowi) belum juga mengangkat Jaksa Agung yang baru. Padahal menurut sejumlah pihak, posisi Jaksa Agungmerupakan salah satu jabatan urgen guna kelangsungan penegakan hukum di tanah air.
Terlepas dari itu, mengingat jabatan Jaksa Agungmerupakan produk politis atau hak prerogatif presiden, beberapa orang berpengalaman di bidangnya mencoba memberikan masukan kepada Presiden Jokowi.
Diantaranya Akademisi FH Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar. Dalam acara media media briefing bertajuk "Polemik Calon Jaksa Agung asal Parpol" di Jakarta, Minggu (2/11/2014), Abdul memberikan pandangan-pandangannya.
Menurutnya, tidak menjadi soal utama asal-usul Jaksa Agung dari partai atau internal kejaksaan. Yang terpenting adalah kompetensinya dan dapat mengimbangi kinerja KPK.
"Paling penting itu kompetensi dan Jaksa Agung harus 'galak' sehingga dapat imbangi KPK," kata Fickar.
Dia pun menyadari bahwa jabatan Jaksa Agung adalah jabatan politis. Karena satu paket dengan kabinet bentukan seorang presiden terpilih. Namun, menurutnya akan lebih bagus posisi tersebut dijabat orang luar kejaksaan, tetapi juga bukan dari partai politik. Menurutnya, kebih baik dijabat oleh seorang praktisi atau akademisi yang memiliki kompetensi cemerlang.
Dia menduga jika diisi oleh orang yang berasal dari internal, nantinya akan kurang maksimal dalam melakukan perubahan. Karena terbiasa dengan sistem yang ada. Belum reformatif. Juga jangan dari partai politik, sebab visi parpol adalah kekuasaan.
"Nah, karena dia ada di ranah yudisial, maka haram kalauJaksa Agung berasal dari paprol. Karena parpol udh jelas ujungpnya kekuasaan. Sense of espirit the corp itu pasti akan muncul. Siapapun bekas Jaksa, dia sekarang di partai, tidak jadi jaminan dia akan objektif," kata dia.
Senada itu, Chaerul Imam, Pensiunan Jaksa yang hadir dalam acara juga tak setuju jika kader parpol diplot menjadi Jaksa Agung. Karena berpotensi konflik kepentingan. Apalagi Jaksa Agung memiliki wewenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Deponeering atau pengenyampingan perkara demi kepentingan umum
"Jadi kaalau dari parpol akan ada konflik kepentingan nantinya," kata Chaerul.
Dia cenderung sepakat Jaksa Agung berasal dari orang internal kejaksaan yang rekam jekanya bagus dan sangat mengerti kultur penegakkan hukum di tiap-tiap daerah. Jadi, jika mengangkat kepala Kejaksaan di suatu daerah tidak salah pilih.
"Lalu juga tidak pernah terkait dengan kasus korupsi. Sekecil apapun!" tegasnya.
Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain, juga berpendapat agar Jokowi tidak memaksakan egonya dengan memilih Jaksa Agungdari partai politik. Terlebih dari parpolnya yakni PDIP.
"Jika Jaksa Agung berasal dari partai politik, maka akan ada kecenderungan yang bersangkutan akan melindungi, atau bahkan mengintervensi proses hukum menjadi dipolitisasi," ujarnya dalam acara yang sama.
Menurutnya, seorang Jaksa Agung yang baru, mampu membenahi penegakkan hukum yang berkaitan dengan kejahatan hak asasi manusia. Begitu juga dengan kejahatan militer. Begitu juga dengan penegakkan hukum yang berkaitan dengan kasus perikanan dan kelautan. Terlebih, Presiden Jokowi memiliki visi pengutan maritim di tanah air.
"Jadi harapan kami itu Indonesia memiliki Jaksa Agungyang berani melakukan terobosan-terobosan seperti penegakkan hukum kasus perikanan dan kelautan," imbuhnya.
Abdul Kadir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar