Jakarta.MEDIA INDEPENDEN NASIONAL ONLINE
Baru beberapa hari diguyur hujan terus-menerus, Jakarta kini berstatus siaga darurat banjir. Namun Ibukota belum memasuki puncak musim penghujan. Hujan dengan intensitas dan curah hujan tertinggi diprediksi terjadi pada awal Februari nanti. Kemungkinan puncak banjir juga bakal terjadi pada awal Februari mendatang.
“Secara klimatologi, puncak musim penghujan ekstrem terjadi di akhir Januari hingga awal Februari,” kata Kepala Bidang Informasi Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kukuh Ribudiyanto, di Jakarta, Selasa (13/1) lalu. “Tentu berdampak pada banjir juga,” imbuhnya.
Kukuh menuturkan, hujan yang terus-menerus dengan kelebatan tinggi akan menyebabkan beberapa kawasan dengan cekungan yang biasanya menjadi langganan banjir semakin tergenang. Apalagi BMKG juga memprediksi, bakal ada banjir rob yang terjadi menjelang akhir Januari nanti. “Ada hujan berturut-turut dan lebat ditambah banjir rob, ini menyebabkan potensi air yang mengalir ke laut menjadi terhambat. Tetap waspada,” tambahnya.
Bencana Ekologis
Sebagaimana diketahui, banjir tahun ini tidak hanya terjadi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, tapi juga terjadi hampir di sebagian besar wilayah Indonesia. Sepekan ini, Jawa terendam, menimbulkan kerugian puluhan triliun rupiah. Di Jakarta saja, kerugian banjir mencapai Rp 9,8 triliun (2002), Rp 8,8 triliun (2007), dan Rp 7,5 triliun (2013). Sementara kerusakan infrastruktur jalan raya sangat besar, yang membentang dari pantai utara Jawa di Banten, Jakarta, hingga Jawa Timur. Kerusakan jalan juga terjadi di Manado dan Madura.
Meskipun bencana berulang di tempat yang hampir sama, kesiapan pemerintah dipertanyakan. Seolah tak belajar dari pengalaman. ”Kalau tidak ada perubahan penanganan, bencana bisa lebih parah,” kata Imam, Imam Hendargo Abu Ismoyo, Deputi Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup.
Imam Ismoyo mengatakan, bencana ini momen pertobatan ekologis. ”Ini murni kesalahan dan kelalaian manusia, termasuk pengambil keputusan. Jangan salahkan hujan kalau banjir atau longsor,” ujarnya.
Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya menyebut bencana itu sebagai bencana ekologis. “Banjir yang kita hadapi sekarang akibat kerusakan ekologis. Ekologi kita hancur total,” katanya saat meninjau lokasi pembongkaran villa di Puncak, Bogor, Senin pekan lalu.
Banjir yang terjadi dalam sepekan terakhir merupakan pengaruh Monsoon Asia yang terkonsentrasi di wilayah Jakarta dan sebagian Jawa Barat dengan curah hujan cukup tinggi secara bersamaan mulai dari hulu sungai Cilwung hingga hilir yang disertai dengan pasang air laut.
Menurut Balthasar, jika dibandingkan banjir pada 2007 curah hujan saat ini tidak lebih dari 300 mm per hari, namun karena perubahan tata ruang yang meningkat pesat baik di kawasan hulu, tengah maupun hilir terutama untuk pemukiman.
Secara umum laju kerusakan ekologis atau degradasi lingkungan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan terlihat dari penurunan luas tutupan hutan di Indonesia dari 49,37 persen pada 2008 menjadi 47,73 persen pada 2012 atau mengalami degradasi sebesar 1,64 persen dalam waktu empat tahun.
Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung terjadi penurunan luas tutupan hutan dari 9,4 persen pada 2000 menjadi 2,3 persen pada 2010 atau mengalami laju degradasi sebesar 7,14 persen dalam kurun waktu 10 tahun atau 0,7 persen per tahun.
Kerusakan ekologis di DAS Ciliwung saat ini seperti meningkatnya lahan kritis dengan tingkat erosi dan sedimentasi yang tinggi, fluktuasi debit yang tinggi antara musim kemarau dan pengujan merupakan salah satu faktor penyebab kejadian banjir di Jakarta dan tanah longsor di beberapa daerah hulus DAS Ciliwung.
Menurut dia, hal ini menandakan DAS Ciliwung semakin tidak sehat dengan perbedaan debit air musim kemarau dan musim penghujan lebih dari 300 kali lipat. “Semua terjadi karena salah manusia, perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan khususnya di Sungai Ciliwung di mana sampah dibuang ke sungai,” kata Balthasar.
Semua hal tersebut menjadikan beban yang harus ditanggung DAS Ciliwung semakin berat, kalau tidak didukung perencanaan tata ruang yang baik dan sinergis antara hulu dengan hilir.
Pengembang Punya Andil
Pengembang yang membangun properti perumahan, apartemen, pusat belanja, dan bangunan-bangunan komersial lainnya yang mampu mengubah bentang alam, dianggap punya andil besar sebagai penyebab banjir di wilayah DKI Jakarta.
“Pengembang punya pengaruh terhadap perubahan bentang alam di wilayah DKI Jakarta. Hal ini terjadi lantaran mereka membangun proyek seringkali tidak memperhatikan daya dukung lingkungan. Bahkan tak jarang, pengembang membangun tanpa disertai izin analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), kendati perizinan lainnya telah dipenuhi,” ujar pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna.
Walhasil, terjadi konversi besar-besaran terhadap ruang kota yang tadinya merupakan ruang terbuka hijau menjadi hutan beton. Sayangnya, perubahan bentang alam yang menyalahi aturan dan terjadi secara dramatis ini tidak disertai dengan sanksi atau penindakan tegas dari Pemda DKI Jakarta.
“Apakah pengembang yang diberikan izin membangun itu dalam pelaksanaan pembangunannya mengalokasikan ruang-ruang terbuka hijau atau sumur resapan untuk menampung air hujan dan luapan air lainnya. Pemda DKI Jakarta tidak ada kontrol terhadap pengembang yang abai aturan,” imbuh Yayat.
Untuk diketahui, syarat wajib yang harus dipenuhi pengembang dalam membangun properti, baik perumahan maupun komersial sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) yakni pengembang wajib menyediakan sumur resapan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH). “Hitung saja, berapa pengembang yang sudah menerapkan Perda tersebut? Saya yakin Kepala Dinas Perumahan tidak memiliki data itu,” cetus Yayat.
Jika pengembang lalai, kata Yayat, harus diberi sanksi tegas oleh Pemda DKI Jakarta dengan mencabut izin usaha dan tidak direkomendasikan melakukan bisnis apa pun di seluruh wilayah DKI Jakarta.
Sudah Lama Diprediksi
Bencana hidrometeorologis banjir, rob, dan tanah longsor di banyak daerah yang merendam sebagian wilayah Jawa saat ini sebenarnya sudah diperkirakan. Alih fungsi lahan dan kepadatan penduduk membuat daya dukung dan daya tampung lingkungan Jawa terlampaui.
”Kerusakan lingkungan nyata. Tetapi, pemerintah pusat dan daerah tidak peka melindungi dari industri ekstraktif dan keserakahan manusia,” kata Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), di Jakarta, Kamis (23/1/2014). Ia dan tim pernah menganalisis daya dukung Pulau Jawa berdasarkan data resmi berbagai lembaga.
Hariadi Kartodihardjo mengatakan, banjir dan longsor di Pulau Jawa sudah terprediksi lama. Dari Kajian Daya Dukung dan Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk Kementerian Koordinator Perekonomian yang dilakukan melalui olah data 2000-2008, merekomendasikan banyak hal.
Rekomendasi itu, di antaranya, menjadi dasar pembuatan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dibuat pertama untuk Tata Ruang Pulau Jawa. ”Saat itu, Kementerian Pekerjaan Umum welcome dan memperbaiki pasal-pasal dalam Perpres Tata Ruang Pulau Jawa,” ujarnya.
Namun, ketika diterjemahkan dalam penyusunan tata ruang provinsi dan kabupaten serta detail tata ruang, kata Hariadi, substansi pertimbangan lingkungan tidak diperhatikan. Padahal, secara formal, pertimbangan-pertimbangan itu sudah tertulis.
Pada saat menyusun kajian itu, tim menemukan 278 peraturan daerah yang 118 di antaranya masih berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam. Upaya penyeimbang melalui pemulihan lingkungan, seperti penghijauan atau penanaman kembali, dinilai hanya sukses di perkotaan.
”Tutupan di Jawa ini meningkat, tetapi di daerah perkotaan melalui reboisasi atau gerakan menanam pohon. Di lahan kritis dan daerah aliran sungai banyak yang tidak tersentuh,” ujarnya.
Padahal, justru di lahan-lahan kritis itulah yang membutuhkan pemulihan. Banjir, banjir bandang, dan tanah longsor banyak dipicu kerusakan daerah hulu dan daerah aliran sungai.
Mengatasi Banjir
Menurut Yayat, menanggulangi banjir di Jakarta yang terjadi sejak dulu, harus secara komprehensif, dan tidak bisa hanya dalam waktu satu tahun. “Menanggulangi banjir di Jakarta, tidak cukup hanya diatasi secara elementer, tetapi harus komprehensif dan membutuhkan waktu lama,” katanya. /1).
Sedangkan menanggulangi banjir secara komprehensif, perlu ada tahapan, mulai dari jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Sebab, persoalan banjir bukan hanya aliran karena sungai yang mengecil dan mendangkal, tetapi juga banyak faktor lainnya termasuk perilaku sosial masyarakat dalam menjaga kebersihan dan lingkungan hijau di bantaran kali. “Jokowi bukan pesulap yang dapat mengatasi banjir dalam waktu singkat,” katanya.
Siapa pun yang menjadi gubernur DKI Jakarta, kata dia, tidak akan mampu mengatasi banjir di Jakarta secara komprehensif jika hanya dalam waktu sekitar setahun. “Persoalan banjir di Jakarta adalah kompleks sehingga penanggulangannya juga harus secara komprehensif,” katanya.
Selain itu, harmonisasi kebijakan untuk mengatasi banjir perlu dilakukan oleh Pemprov di area Jabodetabek, yaitu Pemprov DKI, Pemprov Jawa Barat dan Pemprov Banten. Pemimpin di area ini bisa lebih bijaksana untuk dapat bekerjasama melakukan harmonisasi kebijakan penanggulangan banjir, seperti pengelolaan sampah, kampanye budaya bersih, dan upaya untuk menyetop pendirian bangunan di daerah resapan air.
Sayangnya, sampai saat ini pembangunan daerah-daerah di Jabodetabek sangat masif, seperti pembangunan pusat-pusat perbelanjaan (mega mall), hotel-hotel, perumahan, dan bangunan besar lain yang dinilai kerap mengabaikan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan).
Daerah-daerah yang seharusnya menjadi ruang terbuka hijau dan daerah resapan air, justru diganti dengan hutan beton. Daerah kawasan hutan sudah mengalami erosi, rawan longsor dan kekuatan hutan menyangga air pun berkurang sehingga banjir pun tak terelakkan.
Oleh karena itu, perlu kebesaran hati para pemimpin didaerah Jabodetabek untuk duduk bersama, menghilangkan arogansi untuk membuat MoU misalnya soal penanganan banjir. Jika perlu ada intervensi atau fasilitasi dari pemerintah pusat untuk secara serius membuat rencana kebijakan yang integratif dari hulu ke hilir di area Jabodetabek guna mencegah banjir di Jakarta.
Nasib Jakarta
Bencana banjir selama beberapa hari ini telah menimbulkan kerugian yang cukup besar di berbagai sektor. Baik itu sektor perdagangan, industri, rumah tangga, transportasi dan lainnya. Namun demikian, diperkirakan kerugian akibat banjir yang melanda DKI Jakarta tahun 2014 ini, tidak sebesar banjir tahun 2013 lalu yang mencapai Rp 20 trilliun. “Diperkirakan tidak seperti tahun lalu yang mencapai angka 20 trilliun,” ujar Sarman Simoranjang, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta kepada beritajakarta.com.
Dikatakan Sarman, kerugian yang dialami ketika musibah banjir terjadi di sentra-sentra perdagangan dan industri seperti di Cipulir, Kelapa Gading, Jatinegara, Tanah Abang. “Walaupun kawasan tersebut sudah tidak lagi banjir, tapi masyarakat atau konsumen yang mau menuju ke sana menjadi terganggu dengan adanya banjir. Akibatnya nilai transaksi menjadi berkurang,” tuturnya.
Kerugian juga dialami sektor lainnya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti sektor transportasi, kereta api, bus Transjakarta, PLN dan lain sebagainya. “Tapi seperti tahun lalu di PIK (Pusat Industri Kecil) Pulogadung, banjir mencapai 1 meter bahkan lebih sehingga melumpuhkan aktivitas pabrik. Hal itu tidak terjadi pada tahun ini, walaupun banjir masih terjadi namun dengan ketinggian sekitar 50 meter dan aktivitas pabrik masih bisa beroperasi,” terangnya.
Yang justru harus diwaspadai, tambah Sarman, adalah peningkatan laju inflasi yang disebabkan naiknya harga-harga kebutuhan sehari-hari seperti sayur mayur dan lain sebagainya. Hal itu lantaran pasokan barang-barang kebutuhan sampai saat ini masih banyak yang mengalami gangguan di lintas Jawa dan Sumatera.
Abdul Kadir
Sumber : http://korantransaksi.com/headline/waspadai-banjir-rob/