Minggu, 10 November 2013

K'tut Tantri, Wanita Kulit Putih yang Turut Berjuang Dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

Bali. MEDIA INDEPENDEN NASIONAL ONLINE




Ia seorang perempuan berdarah Skotlandia yang hijrah ke Amerika. Bernama Muriel Pearson, kelahiran Skotlandia di Isle of Man tahun 1899. Ketika Muriel sedang berjalan-jalan di Hollywood Boulevard. Di depan sebuah bioskop, ia tertarik untuk menyaksikan sebuah film berjudul, "Bali: The Last Paradise."


Hanya beberapa menit seusai ia menonton film itu, ia sudah punya keputusan bulat: pergi dan menetap di Bali.
Beberapa bulan kemudian, dengan mengendarai mobil yang dibelinya di Batavia, ia tiba di 'Surga Terakhir' yang diimpikannya pada awal 1940-an. Ia bersumpah baru akan turun dari mobil hanya ketika mobilnya kehabisan bensin. Dan di sanalah ia berjanji akan tinggal. Akhirnya mobilnya berhenti persis di depan sebuah gapura istana raja yang ia sangka sebuah pura.


Hati-hati ia memasuki istana itu. Perempuan itu akhirnya disambut oleh sang raja. Dan seperti sebuah dongeng, ia kemudian diangkat menjadi anaknya yang keempat. Dia kemudian diberi nama Bali, yakni K'tut Tantri.
Perkenalannya dengan dunia politik dimulai dari diskusi-diskusinya yang intens dengan Anak Agung Nura, putra tertua Raja yang mengangkatnya anak. Nura adalah pangeran Bali yang pernah mengecap pendidikan di Leiden dan Universitas Heidelberg di Jerman.


Ketika Jepang mendarat di Bali, K'tut Tantri menjadi perhatian para petinggi militer Jepang karena dia warga negara Amerika. Bali ketika itu dikuasai oleh Kaigun atau Angkatan Laut Jepang. Lalu K'tut berpindah ke Surabaya untuk menghindari pimpinan Kaigun Bali. Di Surabaya, ia mulai menjalin kontak dengan sejumlah orang yang bersimpati pada gerakan anti-Jepang.


Karena kegiatannya yang banyak menjalin hubungan dengan gerakan anti-Jepang itulah, di Surabaya -yang dikuasai oleh IJA atau Angkatan Darat Jepang- akhirnya membuat dia ditawan dan dijeboskan dalam tahanan militer Jepang.


Tidak tanggung-tanggung, K'tut Tantri disiksa oleh Kempetai. Berbagai macam siksaan pernah dia alami, mulai dari dicabut kukunya, disetrum, bahkan sampai diarak telanjang. Mulai siksaan fisik hingga siksaan mental dia terima. Bahkan teman satu selnya wanita asal Jerman bunuh diri dalam sel karena tak tahan dengan siksaannya.


Berbulan-bulan ia diinterogasi. Ia ditanyai soal aktivitas bawah tanahnya. Bahkan ia nyaris dieksekusi. Sekali waktu ia terkapar nyaris mati. Tetapi ia tetap bungkam. Karena kesehatannya yang anjlok sampai ke titik nadir, ia pun dikirim ke rumah sakit. Di sanalah ia mendengar kabar diproklamasikannya kemerdekaan.
Karena aktivitas bawah tanah dan keteguhan sikap untuk tetap bungkam selama interogasi membuat tentara Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo membebaskannya. Ia diberi pilihan:
-kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia, atau
-bergabung dengan pejuang Indonesia.


Dan K'tut Tantri memilih pilihan kedua. Ia kemudian dipercaya untuk mengelola siaran radio perjuangan. Dalam siaran tersebut, K'tut Tantri menyeru dengan berbahasa Inggris yang isinya menyeru kepada negara-negara lain akan kemerdekaan Indonesia. Suaranya mengudara tiap malam.


Ketenarannya membuat sebuah faksi tentara Indonesia menculiknya dan memintanya untuk siaran di radio gelap yang mereka kelola. Tetapi kemudian anak buah Bung Tomo berhasil membebaskannya.


Sewaktu pemerintahan Indonesia pindah ke Jogja, K'tut Tantri pun pindah ke Jogja. Di sana ia bekerja pada kantor Menteri Pertahanan yang ketika itu dijabat oleh Amir Syarifuddin. Ia pernah menuliskan pidato Soekarno. Sekali waktu ia pernah menjadi seorang agen spionase yang berhasil menjebak sekomplotan pengkhianat.
Pada masa pergolakan, bahaya tentu saja ada di mana-mana. Dialah satu-satunya perempuan yang berkeliaran di jantung Jogja yang pekat oleh bau mesiu. 


Karena ketenaran dan keteguhan serta pengorbanannya, dalam sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden dari berbagai kantor berita dan media massa luar negeri, ia dipilih oleh pemerintah Indonesia untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan, dan betapa dustanya propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta sama sekali tak didukung rakyatnya. Dari sanalah julukan Surabaya Sue lahir.
Yah, Surabaya Sue, begitulah pers di Singapura, Australia, dan di belahan bumi lain mengenal dan menyebutnya.


Julukan itu tersampir di pundaknya karena pilihan sadarnya untuk lebih memilih berjuang membantu rakyat Indonesia yang menginginkan kemerdekaan total. Di Surabaya ia dikenal sebagai penyiar dari radio yang dioperasikan para pejuang arek-arek Suroboyo pimpinan Bung Tomo.


Ketika di Surabaya pecah pertempuran November yang gila-gilaan dan tak seimbang
itu, ia berada di tengah para pejuang Indonesia yang sedang kerasukan semangat kemerdekaan.
Kesetiaannya yang tanpa karat membuat K'tut Tantri dipilih pergi ke Singapura dan Australia untuk melakukan kampanye menggalang solidaritas internasional. Tanpa visa dan paspor, dengan hanya bermodal kapal tua yang dinakhodai seorang Inggris yang frustasi, K'tut berhasil lolos dari blokade kapal laut Belanda.


Sejarah mencatat bahwa pengakuan awal terhadap Negara Indonesia datang dari Pemerintah Mesir dan 7 negara Arab. Tapi sejarah juga mencatat bahwa K'tut Tantri-lah yang berjasa ‘menyelundupkan' Abdul Monem utusan Raja Farouk dari Singapura ke Jogja menembus blokade Belanda untuk menyerahkan surat pernyataan tersebut kepada Presiden Soekarno.


Dari Singapura ia pergi ke Australia untuk menggalang dana, melakukan propaganda agar (rakyat) Australia memboikot Belanda.


Selama di sana ia berhasil menggalang sebuah demonstrasi mahasiswa di perwakilan pemerintahan Belanda di Australia.
Di Australia K'tut berdemontrasi habis-habisan. Ketika rakyat Indonesia disebut melakukan pemberontakan, K'tut langsung marah dan berujar, “Minta diterangkan bagaimana pemberontakan Indonesia itu. Saya bisa menceritakan kepada kalian bagaimana mereka hidup?”

Bagi K'tut, pemberontakan adalah kata makian untuk rakyat jelata. Indonesia tidak punya pemberontak. Indonesia hanya mempunyai harapan dan idaman yang sama. “Ada satu perbedaan: orang Australia bebas dan orang Indonesia tidak. Mereka ingin merdeka penuh. Dan mereka mengharapkan bantuan dari Australia. Dengan itu suara mereka bisa didengar dunia,” kata K'tut.


Berkali-kali K'tut Tantri ditanya mahasiswa Australia. “Bagaimana caranya kami membantu? Kami mengakui bahwa kemerdekaan adalah hak semua manusia. Kami akan memberi bantuan jika ditunjukkan jalan,” tanya mereka kepada K'tut.


“Saya dapat menunjukkan jalan untuk membantu tetanggamu, bangsa Indonesa,” jawab K'tut saat itu. “Engkau mahasiswa Sydney dapat menyusun suatu demontrasi ke konsulat Belanda. Saudara dapat mengirim kawat kepada Perdana Menteri Australia supaya dapat mengajukan sengketa Indonesia ke PBB.” 
Itulah pergerakan yang dilakukan K'tut Tantri.


Dia pun menyusun rencana panjang dan pada akhirnya membuahkan hasil. Gerakan protes K'tut dan mahasiswa membawa akibat semakin meluas. Dari India, Perdana Menteri Nehru mengajukan tuntutan yang sama. 


Tidak lama setelah itu PBB memerintahkan Belanda meletakkan senjata di Indonesia, dan persoalan Indonesia dihadapkan di muka PBB. Namun pihak Belanda merasa kebakaran jenggot. Seorang pejabat Belanda lantas mendatangi K'tut Tantri dan berkata: “Anda harus sadar bahwa Anda hanya diperalat saja oleh orang-orang Indonesia itu. Begitu mereka sudah merdeka, Anda pasti akan mereka lupakan..….” Kata-kata ini diucapkan oleh salah satu pengusaha Belanda yang mencoba membujuk supaya K'tut Tanri menghentikan kampanye Indonesia-nya di Australia sembari menawarkan 100.000 gulden.

“Kami bersedia membayar nona asal nona mau meninggalkan Australia, pergi ke Amerika atau Inggris dan melupakan segalanya mengenai Indonesia. Indonesia bukan persoalanmu. Nona orang asing. Dengan 100.000 gulden nona bisa hidup mewah atau bisa dipakai untuk membeli hotel di negeri lain.”


K'tut pun menjawab: “Ada 70 juta rakyat Indonesia. Walaupun tua dan yang lain-lain bersedia menyerahkan sejuta gulden kepada setiap orang Indoensia, lelaki-perempuan, aku tidak berniat menjual negeriku yang kedua ini atau mengkhianati perjuangannya dalam mematahkan belenggu penjajahan. Orang Indonesia boleh saja melupakan segala sesuatu mengenai diriku kalau mereka sudah merdeka. Mengapa tidak. Aku hanya setetes laut yang menguras semakin besar menuju kebebasan. Bertahun-tahun aku hidup di sana. Aku mengetahui yang baik dan yang buruk.”


"Mengapa seorang wanita kulit putih mau berjuang untuk bangsa yang rendah. Apa yang salah dengan kulit putih sehingga kau lebih menyukai kulit hitam?” tanya orang Belanda itu.


“Sekarang coba katakan pada saya, apa warna kulit dari Pencipta-Mu?” dan orang Belanda itu pun terdiam.
Di hari tuanya, K'tut Tantri tinggal di Australia. Ia meninggal pada 27 Juli 1997 di Sidney, Australia, dengan perasaan cinta kepada Indonesia tidak pernah luntur. Peti matinya dihiasi bendera Indonesia dengan aksen Bali kuning dan putih. Seperti permintaanya, jasadnya diperabukan. Abu jenazahnya disebarkan di Pantai Bali.
Sementara harta peninggalannya disumbangkan ke anak-anak Bali yang kurang mampu.


Ia hanya menuruti panggilan kata hatinya. Dan hatinya memang ada di Bali, atau lebih tepatnya di Indonesia.

(Heroe Soelistyanto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar