Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengultimatum Kepala Sekolah SMPN 16 Kota Bekasi, Siti Roro Suryarsi untuk menyelesaikan kasus pemutusan honor penjaga sekolah Suprapto alias Kowo, paling lambat seminggu.
Hal itu disampaikan Wali Kota usai mendengar pengaduan dari seorang anggota komite tentang dugaan pemutusan honorarium itu secara sepihak yang dilakukan oleh oknum tertentu.
“Saya minta agar paling lama dalam seminggu ke depan harus sudah ada laporannya pada saya,” pinta Wali Kota.
Wali Kota melakukan “blusukan” pada Jumat (5/12) bersama sejumlah bawahannya. Sasaran pertama ‘sidak’ SMPN 16 Kota Bekasi. Disebut-sebut Wali Kota mendapat banyak masukan tentang berbagai kasus di sekolah ini.
Mendengar isu tentang rencana kunjungan mendadak ke SMPN 16, pihak sekolah langsung rapi-rapi. WC yang biasanya jorok dan mampet mendadak rapi. Menjelang Wali Kota datang, tampak sejumlah petugas ditemukan masih berupaya merapikan WC.
WC di SMPN 16 dulu sempat bikin heboh karena harus bayar seperti di terminal. Kasus ini sempat menjadi masalah nasional. Namun, di luar dugaan, Wali Kota justru tidak melakukan sidak WC, tapi bangunan di bagian belakang yang dikeluhkan pelajar dan warga sekitar karena pembangunannya menimbulan kebisingan.
Usai sidak, Wali Kota secara tak terduga mendapat pengaduan tentang kasus Pak Kowo yang sampai kini tidak jelas ujung-pangkalnya. Setelah mendapat penjelasan, Wali Kota segera memerintahkan Kepsek SMPN 16 untuk menyelesaikannya.
Kepsek SMPN 16 yang dulu menghebohkan sebagai pencetus “WC berbayar” itu hanya bisa mengiyakan ultimatum Wali Kota.
Suprapto alias Pak Kowo honornya diputus sejak setahun lalu tanpa alasan yang jelas. Ia tidak mendapat pemberitahuan lisan apalagi secara tertulis. Pria 53 tahun ini hanya bisa kaget ketika tanggal 25 saat akan mengambil honorarium di bagian TU sekolah tempatnya mengabdi namanya sudah hilang.
Putusnya honor Rp1,1 juta dari Pemda ini mengubah kehidupannya. Ia kini bukan hanya mengandalkan belas kasihan dari membantu membelikan makanan atau memfotokopikan berkas para guru dengan imbalan seadanya, tapi sehari-hari ia lebih sering makan hanya dengan garam sebagai lauk. Bahkan, demi bisa membayar uang kontrakan tiap bulan ia jarang sekali makan siang di sekolah.
Ia baru bisa makan siang kalau ada pemberian dari guru atau staf sekolah yang iba melihat kehidupannya. Karena nutrisinya yang jauh dari kewajaran itu, postur tubuhnya kurus kering. Meski demikian ia tetap rajin menjalani tugas sehari-hari. Berangkat dari rumah kontrakannya yang sempit tak jauh dari pukul 05.00 WIB, ia biasanya baru pulang selepas maghrib.
Pernah bermimpi punya motor agar bisa untuk menambah penghasilan dengan mengojek. Namun, impian itu kini semakin jauh setelah tidak ada hujan, tidak ada angin, namanya mendadak tercoret dari daftar penerima honorarium dari Pemkot Bekasi.
“Sekarang saya hanya ingin honorarium kembali seperti dulu. Saya sudah tua, nggak mungkin keluar dari sini dan mencari kerja di tempat lain. Apalagi saya hanya punya sepeda satu-satunya. Itu pun sudah butut,” ujar Koko yang mengaku sudah mengabdi di SMPN 16 hampir 20 tahun itu terasa memilukan.
Abdul Kadir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar