Sabtu, 07 November 2015

Mengenang Sejarah Syekh Burhanuddin Ulakan

Jakarta.MEDIA INDEPENDEN NASIONAL ONLINE


Binjai Chaniago (suami Zaituni Saone   binti Tk. Sidi Saone Kaluaik Pariaman selatan Cucu dari Labai M. Zein Koto Tinggi Enam Lingkung Generasi ke V dari Sipono bin Pampak sati Karimun Merah bin Tantejo Gurhano as Guguak silakadi Pariangan (Syekh Burhanuddin Ulakan).
Sejarah Singkat Syekh Abdurrauf
Syekh Abdurrauf dikenal juga dengan sebutan Syekh Kuala, beliau dilahirkan di Singkil pada tahun 1615 Masehi atau 1024 Hijriyah. Syekh Abdurrauf merupakan keturunan Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke 13. Nama Singkil kemudian dinisbatkan pada daerah kelahirannya.
Menurut sejarah ayah Singkil adalah kakak laki-laki dari Hamzah Al-Fansuri, namun tidak cukup bukti yang meyakinkan bahwa ia adalah keponakan Al-Fansuri. Adalagi Nama yang disebut sebagai ayah­nya dimana dia merupakan seorang ulama yang juga filsuf yang terkenal dengan pantheismenya yaitu Sye­kh ‘Ali Menurut cerita Dia adalah seorang keturunan Arab yang te­lah mengawini wanita setempat dari Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua di Sumatera Barat. Keluarga itu lantas menetap di sana.
Singkil didapatkan pendidikan pertama di tempat kelahirannya, Singkil, terutama dari ayahnya yang merupakan seorang alim. Ayah­nya juga mempunyai pesantren. Sing­kil pun menimba ilmu di Fan­sur (Barus), karena ketika itu ne­geri ini menjadi salah satu pusat Islam penting di nusantara serta merupakan titik hubung antara orang Melayu dan kaum Muslim dari Asia Barat dan Asia Selatan. Beberapa tahun kemudian, Singkil berangkat ke Banda Aceh, ibukota kesulta­nan Aceh dan belajar kepada Syam­s al-Din al-Samatrani, seorang ulama pengusung Wujudiyyah. Seja­rah perjalanan karier Singkil diawali saat dia menginjakkan kaki di jazirah Arab pada 1052 H/1642 M.
Sekitar 19 guru yang ada dalam catatan sejarah pernah mengajari­nya dengan berbagai disiplin ilmu Islam di samping sebanyak 27 ulama terkemuka lainnya. Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Makkah serta Madinah. Eksperimen pencarian jatidiri dan keislamannya dimulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir al Mawrir kemudian ber­akhir de­ngan Syekh Abdul Khusyasi di Madinah yang kini menjadi ranji aliran ajaran Syekh Burhanuddin.
Sepanjang hidupnya, tercatat Singkel sudah menggarap sekitar 21 karya tulis yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqih dan selebihnya kitab ilmu tasawuf. Bahkan tercatat kitab tafsirnya berjudul Turjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.
Dia juga menulis sebuah kitab fiqih berjudul Mi’rat at-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syari’yyah li al Malik al-Wahhab (Cermin bagi Penuntut Ilmu Fiqih pada Memudahkan Mengenal Hukum Syara’ Allah) yang ditulis atas perintah Sultanah. Sementara di bidang tasawuf, karyanya yakni Umdat al-Muhtajin (Tiang Orang-Orang yang Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (Pencukup Para Pengemban Hajat), Daqaiq al-Huruf (Detail-Detail Huruf) serta Bayan Tajalli (Ketera­ngan Tentang Tajali).
Namun, di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang dianggap penting bagi kemajuan Islam di nusantara yaitu kitab tafsir berjudul Tarjuman al-Mustafid. Ditulis ketika Singkel masih berada di Aceh, kitab ini telah beredar luas di kawasan Melayu-Indonesia bahkan hingga ke luar negeri.
Oleh banyak kalangan, tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu. Di samping pula kitab tersebut berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir al-quran dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam. Pada bagian lain, pendapat Singkel ter­hadap paham wahdadul wujud dipaparkannya dalam karya Bayyan Tajali. Karya ini juga merupakan usa­hanya untuk merumuskan keya­kinan pada ajaran Islam.
Kalimat utama dari Syekh Abdurrauf adalah betapapun yakin se­orang hamba kepada Allah, namun khalik dan mahluk tetap memiliki arti tersendiri. Sepulang dari belajar dia meneruskan pesantren ayah­nya di singkil dan bekerjasama de­ngan Kesultan Aceh dengan menjadi mufti kerajaan.
Singkil Selayang Pandang
Singkil merupakan sebuah dae­rah di Aceh yang atas UURI Nomor 14 tahun 1999 tepatnya tangal 20 April 1999 Singkil menjadi sebuah Kabupaten akibat pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan de­ngan wilayah seluas 2.187 km2 terdiri atas 11 kecamatan dan 127 kelura­han, berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.
Kabupaten Aceh Singkil sendiri terdiri dari dua wilayah antara daratan dan Kepulauan sementara Sing­kil sendiri merupakan Ibukota Kabupaten yang terletak di ja­lur penghubung Banda Aceh, Me­dan dan Sibolga. Singkil tidak hanya merupakan nama Salah satu Kabupaten di NAD apalagi hanya nama Kecamatan di Kabupaten Aceh Sing­kil, tapi singkil merupakan nama sebuah suku bangsa yang memiliki budaya dan sistem kekerabatan serta pranata sosial lainnya yang sudah lengkap, mendiami daerah geografis yang saat ini dikenal Kab. Aceh Singkil dan Kota Subulussalam.
Masyarakat Singkil hidup secara berkelompok dan membentuk beberapa desa di Kabupaten Aceh Tenggara (Tanoh Alas). Sing­kil sendiri memiliki 15 Desa dan 9 Kelurahan. Bahasa Suku Singkil sendiri berkerabatan dengan Bahasa suku Batak Pakpak di Sumatera Utara Suku bangsa Pakpak menurut cerita berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di India yang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.
Namun adat dan budaya­nya jauh berbeda karena suku singkil sendiri duluan menganut agama Islam sementara Suku Pakpak sendiri dari beragama Hindu kemudian oleh misionaris beralih ke aga­ma kristen. Selain itu suku Singkil lebih banyak bercampur dengan etnis-etnis tetangganya seperti suku Minang dan suku Aceh sendiri.
Pakiah Pono Tiba di Singkil
Pakiah Pono Datuak maruhun Panjang dari Padang gantiang Batu Sangka, Sitarapang dari Kubuang Tigobaleh Solok, M. Nasir dari Koto Tangah Padang (Koto Panjang), Buyuang Mudo dari Bayang Salido Banda Sapuluah akhirnya tiba di Singkil, mereka langsung menemui Syekh Abdurrauf di kediamannya sekaligus mengutarakan maksud kedatangan mereka berlima. Awalnya mula yang me­nemui Syekh Abdurrauf adalah sahabat Pakiah pono yang berempat namun mereka mengatakan kedatangan mereka berjumlah lima orang maka menyusul muncul Pakiah pono yang kalinya cacat kecil sebelah akibat peristiwa masa kecil.
Melihat kedatangan Pakiah pono dengan sembah sujud berbudi Syekh Abdurrauf teringat akan pituah gurunya bahwa nanti akan ada calon muridnya datang dari arah selatan yang nantinya akan menjadi penyuluh agama mewarisi ajaran­nya untuk dikembangkan dari pesisir Aceh ke Selatan dimana yang satunya cacat namun pintar dan berbudi pekerti yang tinggi. Maka tanpa ragu Sang Mufti langsung menerima kelima orang ini menjadi murid dan di persilahkan masuk ke surau mengambil tempat untuk tinggal.
Alangkah gembiranya mereka kerena mendapat restu belajar dan sambil berlari mereka berebutan mengambil lokasi dimana keempat orang tersebut berebut me­ngambil lokasi ditiap sudut sementara si Pakiah Pono tenang tidak berebut tempat se­hingga dia tidak kebagian lokasi. Melihat perilaku Pakiah pono yang bersahaja menimbulkan kagum dari sang Syekh dan akhirnya si Pakiah Pono di anjurkan tinggal di rumah­nya saja.
Sebuah pembelajaran yang di­terapkan oleh Syekh Abdurrauf de­ngan mudah dipahami Pakiah pono apalagi Pakiah pono dapat menjabarkan hakikat pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa dipahami dengan mudah oleh orang awam.
Ma’rifat berguru: “Murid laksana mayat ditangan yang memandikan”
Sebuah pembelajaran yang di­terapkan oleh Syekh Abdurrauf de­ngan mudah dipahami Pakiah pono apalagi Pakiah pono dapat menjabarkan hakikat pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa dipahami dengan mudah oleh orang awam.
Apalagi Latar belakang Pakiah Pono yang berasal dari keluarga bangsawan dan keahliannya dalam mengolah alam buah pembelajaran keras yang diberi Ayahnya Pampak Sati Karimun Merah, anak Tantejo Gurhano seorang Datu sakti di Pariangan sangat berguna dite­rapkan di pesantren sehingga Syeikh Abdurrauf mempercayakan Pakiah Pono untuk mengurus keperluan Pesantren, dari membuat dan memelihara ikan di kolam, Berkebun dan ke sawah juga menggembala Sapi kepunyaan Sang Syekh. Hal itu dia lakukan tanpa membantah karena pakiah pono menyadari dalam ilmu tareqat apapun aliran­nya dalam menuntut ilmu “murid dihadapan guru ibarat mayat di tangan orang yang memandikannya” semakin tinggi kepatuhan seorang murid terhadap guru maka semakin tinggi keyakinannya pada dirinya sendiri sehingga tanpa disadari terbuka hijab ilmu Allah dan dasar inilah yang memunculkan kejadian-kejadian yang tidak terduga terjadi.
Makanya tiap orang yang mendalami ilmu tareqat berlainan kelebihan-kelebihan yang dia dapatkan karena ilmu tersebut dia dapatkan hasil dari hijabah yang dialakukan sendiri sehingga walau dengan gurunya sekalipun penampakan kelebihan itu tidak sama. Secara harfiah Tareqat maknanya adalah Jalan atau cara dimana dalam hal ini dinisbatkan untuk jalan mendekatkan diri pada Allah.
Ya Tuhanku, Engkaulah yang aku tuju, KeridhaanMulah yang aku cari, Kuharapkan kasih sayangMu, Serta mengharapkan menjadi hambaMu yang senantiasa cinta dan terdekat dengan Mu.
Untuk mencapai ini dalam ilmu tashauf dibutuhkan seorang mufti atau guru pembimbing yang bisa dipercaya secara lahir maupun bathin karena menyangkut penye­rahan kehidupan sang murid secara bulat. Setelah penyerahan ini sang murid telah menghipnotis dirinya untuk tidak lagi menguasai dirinya secara penuh maka disinilah letak terbukanya hijab Allah karena sang murid hidup dalam keadaan sadar dalam ketidak sadaran dalam artian dia sadar sesadar sadarnya disaat raganya berada tidak dalam kekuasaan otak kecilnya yang penuh logika secara penuh melainkan dikuasai oleh otak besar yang memiliki gelombang penglihatan tanpa batas.
Untuk ujian kepatuhan ini Syekh Abdurrauf menguji siswanya dengan merendahkan martabat sang siswa dengan cara menyuruhnya menyelam di kolam tempat pembuangan tinja ratusan penghuni pesantren. Dalam ujian ini tidak seorangpun dari siswa Pesantren yang mau melakukannya kecuali Pakiah pono. Dalam hikayat, Suatu hari Syekh Abdurrauf menguji santrinya dengan memanggil dan menyuruh mereka untuk mengambil bejana yang menurut sang Syekh jatuh di WC pesan­tren yang penuh kotoran manusia.
Dari sekian banyak santri hanya Pakiah ponolah yang mau sepenuh hati menyelami WC penuh tinja tersebut tanpa memperhitungkan bau busuk kotoran dan menyerahkannya pada sang Guru setelah dia samak dan bersihkan. Maka berbinarlah mata Sang guru karena dia mendapatkan murid yang benar-benar akan bisa mewarisi aliran ilmu yang dia pelajari dan pahami selama ini. Ketika Syekh Abdurrauf dapat undangan ke sebuah pulau maka dia bergegas pergi dengan beberapa santri dan berpesan pada santri yang tinggal agar menyuruh Pakiah Pono menyusulnya ke pulau tersebut.
Mendapat tugas dari sang guru yang dia junjung tinggi Pakiah Pono bergegas ke tepi pantai tetapi setiba di tepi pantai dia tidak mendapat sebuah perahupun untuk bertolak ke pulau. Karena Pakiah Pono cucu Tantejo Gurhano sang Datu ternama Pariangan, maka menguasai alam bukanlah sesuatu yang sulit apalagi dengan bekal pengetahuannya tentang sari’at Islam dan pemahamannya akan maksud kandungan Alqur’an sudah sangat mendalam dan jabaran dari ma’rifat asmaul husna sudah dia pecahkan maka atas izin Allah dengan keyakinan penuh tubuhnya menjadi ringan seringan kapas dan dia bisa berjalan diatas air seakan-akan ada kayu penyangga yang menopangnya saat dia melangkah menuju pulau, Peristiwa ini disaksikan oleh santri baik dari daratan maupun di seberang pulau sehingga ini menjadi salah satu kekeramatan Pakiah Pono.
Kejadian serupa juga terjadi disaat Pakiah Pono sedang membe­tulkan atap rumah dimana ada potongan kayu terjatuh dan akan me­ngenai anak gadis Sang Guru maka dengan seketika Pakiah Pono melayang kebawah untuk menyambut kayu tersebut. Kalau dalam ajaran ayahnya dia menggunakan ilmu Shastra-Shakuna teknik mengatasi gravitasi alam. Salah satu peristiwa mashur yang menjadi pega­ngan kaum shufi adalah disaat Pakiah Pono diuji ke imanannya akan godaan wanita.
Ratu Saat itu Pakiah Pono disuruh menjaga anak gadis sang Guru yang lagi mekar-mekarnya dirumah sementara Syekh Abdurrauf pergi memenuhi undangan panggilan kerajaan. Kiranya hormon pertumbuhan Pakiah Pono sedang memuncak pula maka bangkitlah nafsunya melihat sang anak majikan yang sedang ranum menjadi tanggungannya. Inilah perang sangat dahsyat yang dialami Pakiah Pono perang melawan hawa nafsu sendiri disaat nafsu sedang memuncak.
Untuk melawan nafsunya sendiri dia mengambil keputusan yang sangat mahal dengan pergi menjauh dan memukul alat kelamin­nya dengan batu. Bagi Pakiah Pono dari pada jadi budak nafsu seitan dan menjadi orang terbuang didu­nia dan diakhirat lebih baik menghukum alat kelamin yang menjadi sumber pemicu pelampiasan hawa nafsu.
Meski peristiwa ini disesalkan sang guru namun itu sudah merupakan keputusan yang tidak bisa dirubah lagi dan sejak saat itu bergarislah tabir bahwa Pakiah Pono tidak bisa memiliki keturunan dari darahnya da­gingnya sendiri karena alat kelaminnya sudah rusak.

Abdul Kadir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar